Pakai Triangle Theory Ini Analisis Pakar Soal Kasus Brigadir J
Pendahuluan: Kompleksitas Kasus Brigadir J
Kasus kematian Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat telah menyita perhatian publik Indonesia sejak mencuat pada pertengahan tahun 2022. Persoalan tragis ini melibatkan sejumlah perwira tinggi Polri dan diduga sarat rekayasa serta upaya pengaburan fakta. Masyarakat dan media menuntut kejelasan motif, kronologi kejadian, hingga pertanggungjawaban pelaku sesungguhnya. Dalam menganalisis kasus yang kompleks seperti ini, pendekatan kriminalistik yang komprehensif, salah satunya dengan memakai Triangle Theory, dinilai penting agar bisa memahami mengapa dan bagaimana kejahatan bisa terjadi.
Mengenal Triangle Theory dalam Kriminologi
Triangle Theory atau Segitiga Kejahatan, diperkenalkan oleh Ronald V. Clarke dan David Cornish melalui Routine Activity Theory. Secara sederhana, teori ini menjelaskan bahwa kejahatan hanya akan terjadi apabila terdapat tiga unsur utama, yaitu:
- Motivated Offender (Pelaku Bermotivasi): Ada individu yang berniat atau siap melakukan kejahatan.
- Suitable Target (Target yang Layak): Ada objek atau korban yang rentan untuk dijadikan sasaran kejahatan.
- Absence of Capable Guardian (Tidak Ada Pengawas yang Mampu): Tidak ada pengawasan atau proteksi yang efektif untuk mencegah kejahatan.
Jika salah satu unsur ini tidak terpenuhi, biasanya kejahatan sulit untuk terjadi atau setidaknya bisa dicegah. Teori ini sering dipakai kriminolog dan penegak hukum dalam menganalisis kasus untuk menemukan celah atau penyebab terjadinya tindak pidana.
Analisis Pakar: Triangle Theory dalam Kasus Brigadir J
1. Motivasi Pelaku: Ada Indikasi Saling Sembunyi dan Dendam
Kasus Brigadir J menemukan kompleksitas pada sisi motif. Dalam pengakuan beberapa tersangka, motif awal disebut-sebut karena dugaan pelecehan, tapi belakangan diduga hanyalah rekayasa semata untuk menutupi motif yang lebih dalam, seperti dendam pribadi, upaya menutupi sebuah rahasia besar, hingga perebutan kekuasaan di internal institusi Polri.
Seorang pakar kriminologi Universitas Indonesia, Prof. Adrianus Meliala, menilai bahwa faktor motivated offender sangat jelas karena dari fakta persidangan, ada pihak yang merasa terancam keberadaannya oleh korban. Bahkan, pelaku utama disebut-sebut memiliki dendam dan rasa takut rahasianya terbongkar. “Kebanyakan tindak kejahatan yang melibatkan lingkaran terdekat korban, motif balas dendam atau ingin menyingkirkan korban sangat kuat,” ujar Prof. Adrianus.
2. Suitable Target: Posisi Brigadir J yang Rentan
Dalam posisi sebagai ajudan atau pengawal pribadi, Brigadir J sebenarnya merupakan inner circle dari keluarga pelaku utama. Namun, seperti penuturan sosiolog, posisi semacam ini kerap berujung menjadi ‘target empuk’ apabila terjadi konflik hubungan, seperti retaknya kepercayaan atau sekedar menjadi saksi rahasia penting.
“Brigadir J berada di posisi yang sangat rentan karena ia terlalu tahu banyak, terlalu dekat, dan mungkin menyimpan informasi yang dianggap ‘vital’ oleh pelaku,” sebut Dr. Hermawan Sulistyo, kriminolog LIPI. Dalam Triangle Theory, inilah elemen suitable target yang termanifestasi—korban jadi target benar-benar sesuai sebab posisinya yang lemah dan tidak cukup memiliki perlindungan.
3. Absence of Capable Guardian: Celah Dalam Pengawasan
Salah satu sorotan utama publik adalah bagaimana kejahatan ini bisa berlangsung tanpa ada satu pun petugas pengawas yang efektif. Rumah dinas jenderal Polri tempat kejadian, justru harusnya merupakan lokasi dengan pengamanan super ketat. Namun, fakta berbicara lain: para pelaku dapat mempertontonkan rentetan tindakan kriminal, berupa penganiayaan hingga perekayasaan tempat kejadian tanpa diganggu atau dicegah.
Dalam segitiga kejahatan, ini adalah faktor absence of capable guardian. Tidak adanya pengawasan yang memadai memberi ruang bebas bagi pelaku bertindak. Pakar PSIKOLOGI FORENSIK, Reza Indragiri Amriel, menyebutkan, “Abainya sistem pengawasan—baik secara manusiawi maupun perangkat CCTV yang diakali—mendorong kejahatan tereksekusi dengan leluasa.”
Solusi dan Pembelajaran Dari Analisis Segitiga Kejahatan
Melalui pendekatan Triangle Theory, publik dan penegak hukum bisa memahami bahwa munculnya kejahatan, bahkan yang sebesar kasus Brigadir J, bukanlah peristiwa dadakan. Terdapat konstruksi yang tersusun: ada pelaku bermotif kuat, korban yang sangat rentan, dan situasi atau sistem yang gagal mencegah kejahatan.
Beberapa pelajaran penting dari analisis ini adalah:
- Perlu Pengawasan Internal yang Ketat: Pengawasan efektif, terutama di kawasan vital seperti rumah pejabat Negara, tidak boleh kendor. Sistem CCTV dan patroli harus berjalan optimal.
- Pentingnya Perlindungan Whistleblower: Saksi atau pihak yang berpotensi menjadi target karena pengetahuannya tentang rahasia penting institusi harus mendapat perlindungan khusus.
- Reformasi Budaya Organisasi: Budaya saling curiga, kekerasan, atau tutup mata terhadap pelanggaran perlu diubah sejak dini, agar tidak ada lagi ruang kejahatan dalam tubuh institusi penegak hukum.
Kesimpulan: Memandang Kasus Brigadir J Lewat Triangle Theory
Kasus Brigadir J bisa jadi salah satu preseden penting dalam sejarah intelektual kriminal di Indonesia. Dengan menerapkan Triangle Theory sebagai alat analisis, kita bisa melihat dengan lebih jernih: kejahatan adalah hasil interaksi tiga unsur utama—pelaku bermotif, korban rentan, dan lemahnya pengawasan. Pembenahan di tiap sisi segitiga ini menjadi kunci pencegahan kejahatan serupa, agar tragedi kemanusiaan dan krisis dalam penegakan hukum tidak terulang di masa mendatang.